Berbagi serta Bertukar Ilmu, Menjadi Manusia yang Bermanfaat Untuk Orang Lain

Archive for the ‘Islam’ Category

Menyelami Kehidupan : Persiapan dan Pembelajaran

Berikut ada kisah menarik yang saya dapatkan dari milis FB saya. Semoga bermanfaat untuk kita. Langsung ke TKP.

Perhatian: Mohon dibaca sampai habis, jangan malas baca yah. Insya Allah menginspirasi.

 

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

 

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

 

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

 

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

 

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

 

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

 

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

 

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

 

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

 

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

 

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

 

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

 

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.

 

Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.

 

Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

 

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

 

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

 

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

 

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

 

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

 

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

 

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

 

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

 

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

 

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

 

 

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

 

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

 

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

 

sumber :

http://bundaiin.blogdetik.com/2011/10/07/kisah-inspirasi-untuk-para-istri-dan-suami/

 

Istilah-Istilah Arab yang Sering Salah (Part 2)

2. MUHRIM

Terkadang kita terbiasa mengucapkan kata non muhrim kepada perempuan atau laki-laki yang tidak boleh dinikahi karena faktor sebab sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan, padahal pengguaan kata tersebut tidaklah tepat. Tetapi bahasa Indonesia menggunakan kata muhrim dengan arti semakna dengan mahram (haram dinikahi). (KBBI, hal. 669 dan juga lihat hal.614).

Kata Muhrim di dalam bahasa arab berasal dari akar kata حرم – haruma : menjadi terlarang

Bagaimana bentuk perubahan, atau tashrifnya?

Kata حرم – haruma, bentuk mudhory’ (present tense) adalah يحرم – yahrumu, dengan mashdar ada beberapa bentuk: حرم – hurmun , حرم – hurumun, حرمة – hirmatun, dan حرام – haraamun. Semua ini artinya: menjadi terlarang. Nah, kata mashdar حرام (haraam) ini yang sering dipadankan dengan sebagai lawan kata dari حلال (halaal)

Contoh penggunaan kata kerja-nya: حرمت السحور على الصائم : harumat assahuuru ‘alaa asshooimi (Sahur itu menjadi terlarang bagi yang berpuasa)

حرمت المرأة على زوجها : harrumat al-mar-a-tu ‘alaa zaujihaa (Wanita itu menjadi terlarang bagi suaminya)

Sedangkan kata mashdar حرام – haraam, yang berarti “yang haram” adalah bentuk singular, dan bentuk pluralnya adalah حروم – huruum.

Contohnya:

الارضى الحرام – al-ardh al-haraam : tanah terlarang, tidak dikuasai, neutral zone
البيت الحرام – al-bayt al-haraam : rumah terlarang (Ka’bah), terlarang bagi non-muslim
الشحر الحرام – asy-syahr al-haraam : bulan haram, terlarang berperang
الاشحر الحروم – al-asyhur al-huruum : bulan-bulan haram

Kalau kita teruskan, maka kita dapatkan bentuk isim fa’ilnya (kata benda pelaku) adalah حارم – haarimun, dan isim maf’ulnya (kata benda objek) محروم – mahruum. Dan bentuk isim zaman (kata benda keterangan terjadinya perbuatan) atau isim makan (kata benda tempat terjadinya perbuatan) adalah محرم – mahram. Kata mahram ini artinya “terlarang”, juga berarti “orang yang haram dinikahi”. Jamaknya محارم – mahaarim.

KKT-1

Bentuk KKT-1 (kata kerja turunan ke 1), adalah:

أحرم – ahrama : mengharamkan, dengan bentuk mudhory’ يحرم – yuhrimu, dan mashdarnya adalah إحرام : ihraam.

Kata mashdar ihraam, ini arti asalnya adalah “hal pelarangan”, atau “hal pengharaman”. Kata ini, dipakai pada umumnya untuk menyebut:

تكبيرة الإحرام : takbiiratul ihraam

Takbir “pengharaman”: artinya dari takbir ini sholat dimulai, dan diharamkan melakukan yang membatalkan sholat.

Kata الإحرامihraam juga berarti menyengaja untuk memulai ibadah haji atau umrah. Di Al-Quran dikatakan, jika berhaji diharamkan (di-ihraam-kan) perbuatan rafats (berkata kotor), fusuq (berbuat dosa), dan jidal (berbantah-bantahan).

Kalau kita teruskan bentuk KKT-1 ini maka kita akan bertemu dengan bentuk:

محرم – muhrim (orang yang berihram), atau bisa juga menjadi isim fa’il dari kata ahrama, yang bisa berarti “sesuatu yang mengharamkan”.

Artinya kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang berihram dalam ibadah haji sebelum bertahallul.

3. Penulisan Wallahu A’lam

Penulis artikel keagamaan (Islam) atau media Islam lazimnya mengakhiri tulisan dengan kalimat Wallahu a’lam (artinya: “Dan Allah lebih tahu atau Yang Mahatahu/Maha Mengetahui). Sering ditambah dengan bish-shawabi menjadi Wallahu a’lam bish-shawabi.

Hal itu untuk menunjukkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang Maha Tahu atau lebih tahu segala sesuatu dari kita. Hanya Allah yang Maha Benar dan Pemilik Kebenaran mutlak. Kebenaran yang kita tuliskan itu relatif, nisbi, karena kita manusia tempat salah dan lupa.

Namun coba perhatikan, banyak yang keliru dalam penulisannya, yaitu dalam penempatan koma di atas (‘). Catatan: sebutan “koma di atas” untuk tanda baca demikian sebenarnya tidak tepat, tapi disebut “tanda petik tunggal” juga tidak tepat karena petik tunggal itu begini ‘…’ dan bukan pula “apostrof” (tanda penyingkat untuk menjukkan penghilangan bagian kata) karena dalam kata itu tidak ada kata yang dihilangkan/disingkat. Kita sepakati aja deh ya, namanya “koma di atas”.

Penulisan yang benar, jika yang dimaksud “Dan Allah Maha Tahu” adalah Wallahu a’lam (tanda koma di atas [‘] setelah huruf “a” atau sebelum huruf “l”). Tapi sangat sering kita jumpai penulisannya begini: Wallahu ‘alam (koma di atas [‘] sebelum huruf “a”).

Jelas, Wallahu a’lam dan Wallahu ‘alam berbeda makna. Yang pertama (Wallahu a’lam) artinya “Dan Allah Mahatahu/Maha Mengetahui atau Lebih Tahu”. Yang kedua (Wallahu ‘alam) artinya “Dan Allah itu alam”, bahkan tidak jelas apa arti ‘alam di situ? Kalau ‘alamin atau ‘aalamin, jelas artinya alam, seperti dalam bacaan hamdalah –alhamdulillahi robbil ‘alamin.

Jadi, kalau yang kita maksud itu “Dan Allah Maha Tahu”, maka penulisan yang benar adalah Wallahu a’lam, bukan Wallahu ‘alam.

A’lam itu asal katanya ‘alima artinya tahu. Dari kata dasar ‘alima itu kemudian terbentuk kata ‘ilman (isim mashdar, artinya ilmu/pengetahuan), ‘alimun (fa’il/pelaku, yakni orang yang berilmu), ma’lumun (pemberitahuan, maklumat), dan sebagainya, termasuk a’lamu/a’lam (lebih tahu).

Tanda petik tunggal atau koma di atas (‘) dalam a’lam itu transliterasi bahasa Indonesia untuk huruf ‘ain dalam bahasa Arab (seperti Jum’ah, Ka’bah, Bid’ah, Ma’ruf, dan sebagainya). Kata a’lam artinya “lebih tahu”. Jadi, kian jelas ‘kan, penulisan yang benar: Wallahu a’lam, bukan Wallahu ‘alam.

Tentu, kesalahan penulisan itu tidak disengaja, salah kaprah aja alias kesalahan yang sering dilakukan, secara sadar atau tidak sadar, merasa benar —padahal salah— karena tidak ada yang mengoreksi. Saya yakin, maksudnya Wallahu a’lam, “Dan Allah Maha Tahu”.

A’ di sini pengganti ع yang lengkapnya tertulis الله أعلم , huruf أ menunjukkan arti lebih atau paling seperti menulis الله أكبر (Alloh Maha/ Paling Besar), hanya saja ketika Baca Selengkapnya

Istilah-Istilah Arab yang Sering Salah

Ada beberapa penggunaan kata di dalam bahasa Arab yang sering kita gunakan di dalam bahasa Indonesia, namun karena terlalu seringnya kata-kata tersebut diulang sehingga menjadi hal yang biasa. Padahal penggunaan kata tersebut tidaklah tepat. Berikut beberapa kata tersebut adalah :

1. MAHRAM

Adalah orang perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya.

Mahram Sebab Keturunan

Mahram sebab keturunan ada tujuh. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ‘Ulama. Allah berfirman; “Diharamkan atas kamu untuk (mengawini) (1) ibu-ibumu; (2) anak-anakmu yang perempuan (3) saudara-sauda-ramu yang perempuan; (4) saudara-saudara ayahmu yang perempuan; (5) saudara-saudara ibumu yang perempuan; (6) anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; (7) anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan” (QS. An Nisà’ [4] : 23)

Dari ayat ini Jumhùrul ‘Ulàmà’, Imam ‘Abù Hanifah, Imam Màlik dan Imam Ahmad bin Hanbal memasukan anak dari perzinahan menjadi mahram, dengan berdalil pada keumuman firman Allàh “anak-anakmu yang perempuan” (QS. An Nisà’ [4] : 23). Diriwayatkan dari Imam Asy Syàfi’iy, bahwa ia cenderung tidak menjadikan mahram (berarti boleh dinikahi) anak hasil zina, sebab ia bukan anak yang sah (dari bapak pelaku) secara syari’at. Ia juga tidak termasuk dalam ayat:

“Allàh mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk)anak-anakmu. Yaitu: bagian anak lelaki sama dengan dua bagian orang anak perempuan” (QS. An Nisà’ [4] : 11).

Karena anak hasil zina tidak berhak menda-patkan warisan menurut ‘ijma’ maka ia juga tidak termasuk dalam ayat ini. (Al Hàfizh ‘Imàduddin Ismà’il bin Katsir, Tafsirul Qurànil Azhim 1/510)

Mahram Sebab Susuan

Mahram sebab susuan ada tujuh. Sama seperti mahram sebab keturunan, tanpa pengecualian. Inilah pendapat yang dipilih setelah ditahqiq (ditelliti) oleh Al Hàfizh ‘Imàduddin Ismà’il bin Katsir. (Tafsirul Qurànil Azhim 1/511). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan” (HR. Al Bukhàri dan Muslim).

Al-Qur’àn menyebutkan secara khusus dua bagian mahram sebab susuan: “(1) Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu; (2)dan saudara-saudara perem-puan sepersusuan” (QS. An Nisà’ [4] : 23).

Mahram Sebab perkawinan

Mahram sebab perkawinan ada tujuh. “Dan ibu-ibu istrimu (mertua)” (QS. An Nisà’ [4] : 23) “Dan istri-istri anak kandungmu (menantu)” (QS. An Nisà’ [4] : 23) “Dan anak-anak istrimu yang dalam pemelihraanmu dari istri yang telah kamu campuri” (QS. An Nisà’ [4] : 23).

Menurut Jumh urul `Ulàmà’ termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya. Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab aqad nikah, walaupun si puteri belum dicampuri, kalau sudah aqad nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi puteri itu.

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)”. (QS. An Nisà’ [4] : 22). Wanita yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah dengan hanya aqad nikah, walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak boleh menikahinya.

“Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara” (QS. An Nisà’ [4] : 23)

Rasulullàh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ibu;Dan menghimpunkan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi bersabda: “Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya” (HR. Al Bukhàriy dan Muslim)

Jadi, keponakan (perempuan) tidak boleh dihimpun dengan bibinya dalam perkawinan, demikian pula bibi tidak boleh dihimpun dengan keponakan perempuan dalam perkawinan. Secara mudah, bibi dan keponakan perempuan tidak boleh saling jadi madu.

Larangan menghimpun antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah atau ibu berdasarkan hadits-hadits mutawàtirah dan ‘ijmà`ul `ulàmà’. (Muhammad bin Muhammad Asy Syaukàniy, Fathul Qadir 1/559).

Mahram disebabkan keturunan dan susuan bersifat abadi, selamanya, begitu pula sebab pernikahan. Kecuali, menghimpun dua perempuan bersaudara, menghimpun perempuan dengan bibinya, yaitu saudara perempuan dari pihak ayah atau ibu, itu bila yang satu meninggal lalu ganti nikah dengan yang lain, maka boleh, karena bukan menghimpun dalam keadaan sama-sama masih hidup. Dzun Nùrain, Utsmàn bin ‘Affàn menikahi Ummu Kultsùm setelah Ruqayyah wafat, kedua-duanya adalah anak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Zina dengan seorang perempuan semoga Allàh menjauhkan kita semua dari itu tidak menjadikan mahram anaknya ataupun ibunya. Zina tidak mengharamkan yang halal.

Wanita yang bersuami

Allàh mengharamkan mengawini wanita yang masih bersuami. “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami” (QS. An Nisà’ [4] : 24). Perempuan-perempuan yang selain di atas adalah bukan mahram, halal dinikahkan. “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untk berzina” (An Nisà’/4:24). Wallàhu ‘a`làm (Asri Ibnu Tsani)

Jangan Mencabut Uban,BAHAYA!!

Diantara manusia ada yang merasa malu saat uban tumbuh pertama kali dikepalanya serta tidak suka jika dilihat orang lain. Ia pun mencabutnya karena tidak mengetahui bahwa pada hari kiamat uban merupakan cahaya bagi pemiliknya

Diriwayatkan dari Fudhalah bin Ubaid r.a bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda “ Barangsiapa yang beruban rambutnya dalam Islam, niscaya uban itu akan menjadi cahayanya pada hari kiamat”

Ketika itu ada seseorang berkata kepada Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam “Sesungguhnya ada orang –orang yang mencabut uban mereka” . Rasulullah shalallahu Alaihi Wasallam pun bersabda, “Barangsiapa yang ingin melakukannya berarti hendak mencabut cahayanya” (HR Al Bazzar , Ath Thabrani dan di hasankan Al- Albani dalam shahih At –Targhib wat Tarhib (2092).

Diantara keutamaan membiarkan uban dan tidak mencabutnya ialah pada hari kiamat kelak pemiliknya akan diberikan Empat Hal penting :
Cahaya diatas Shirat, setiap rambut putih dibalas satu kebaikan, dihapus darinya satu keburukan, dan Allah mengangkat satu derjat dari rambut itu.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a bahwa Nabi Shalallahu Alaihi wasallam bersabda ; “Janganlah kalian mencabut Uban! Sesungguhnya uban itu adalah cahaya pada hari kiamat . Barangsiapa yang tumbuh ubannya ketika Islam niscaya dicatatkan untuknya dengan uban itu satu kebaikan, dihapus dari orang itu satu kesalahan(dosa) dan ia ditinggikan satu derjat baginya dengan uban itu” (HR Ahmad dalam Al-Fath Ar Rabbani 17/315, At Thirmidzi (2821),Ibnu Majah (3721) dan Ibnu Hibban. Sedangkan dalam shahih At-Targhib wat Tarhib Al Albani berkata “hadis ini Hasan shahih”(2096).

Dari sini kita bisa mengetahui bahwa setiap perintah nabi Shalallahu Alaihi Wasallam dan setiap amal shaleh tidaklah diperintahkan secara sia-sia. Pada hari kiamat amal kebaikan tersebut akan memiliki faedah dan buah sebagai ganjaran bagi setiap orang yang taat kepada Allah dan menjadi pembeda antara orang yang taat dengan orang yang bermaksiat.

Uban merupakan suatu nikmat, sebab uban adalah pemberi peringatan dan pengingat bagi orang yang paham terhadap dekatnya ajal.
Allah SWT berfirman ; “Dan mereka berteriak di dalam neraka itu “Ya Rabb kami keluarkanlah kami, niscaya kami akan mengerjakan amal yang shalih berlainan dengan yang telah kami kerjakan’ dan apakah kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir , dan (apakah tidak ) datang kepadamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun “ ( QS Fathir : 37)

Abdul Aziz bin Abu Rawwad berkata kepada seseorang : “Barangsiapa yang tidak bisa mengambil nasehat dari tiga hal, berarti dia tidak akan bisa diperingatkan dengan apapun , yaitu Islam, Al-Quran dan Uban” (Shifatush Shafwah , Ibnu Al- Jauzi : 1/ 470)

Dikutip dari Diatas Titian Jahannam , Rahasia Selamat Diatas Shirat (Karya Dr Muhammad An – Nuaim)

 

 

Sumber:

http://www.islamedia.web.id/2011/07/uban-adalah-cahaya-pada-hari-kiamat.html diakses 13 Juli 2011 pukul 14.50 oleh Abu Rafah

SAYA TIDAK MAU…

SAYA tidak mau menjadi budak-budak Fir’aun.
Dalam Al Qur’an tertuang bahwa yang menjadi budak-budak Fir’aun adalah Bani Israil. Padahal bani tersebut merupakan bani terpilih oleh Allah sebagai model bagi alam semesta. Namun yang terjadi kebalikan. Setelah mereka diselamatkan oleh Allah dari siksaan Fir’aun, mereka justru sombong. Tidak mengakui bahwa nikmat yang diberikan kepadanya merupakan dari Allah.

“Dan (ingatlah),ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika Dia menyelamatkan kalian dari (Fir’aun dan) pengikut-pengikutnya. Mereka menyiksa kalian dengan siksa yang pedih. Mereka menyembelih anak-anak laki-laki kalian,membiarkan hidup anak-anak perempuan kalian; dan pada yang demikian itu ada cobaan yang besar dari Rabb kalian.” (Q.S Ibrahim: 6)

Perbudakan yang mereka rasakan begitu dalam membuat mereka manruh dendam hingga hatinya tertutup. Tidak mampu merasakan alias sudah kebas. Hingga nikmat Allah yang begitu besar itupun mereka harus diingatkan. Sungguh SAYA tidak mau seperti mereka.
Lalu merekapun lari menyelamatkan diri dari sang Tiran dan berhenti di hadapan Laut Merah yang membentang.

“Maka Fir’aun dan bala tentaranya dapat menyusuli mereka di waktu matahari terbit. Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku besertaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” ( Q.S Asy Syuuraa : 60-62)

Nah kalau kita cermati pada perkataan Musa, kita akan menemukan hal yang unik. Mengapa ia berkata, “Inna ma’iya Rabbii..Sesungguhnya Rabbku besertaku..”? Mengapa ia bukan katakan saja, “ Inna ma’anaa Rabbunaa..Sesungguhnya Rabb kita beserta kita..”? Kok begitu ya. Ada perbedaan antara Bani Israil yang dipimpin Musa dengan Abu Bakr Ash Shiddiq yang menyertai Rasulullah berhijrah.
Abu Bakr menyertai Rasulullah berhijrah dengan segenap keimanan jiwa dan raganya. Tatkala mereka berdua bersembunyi di ceruk kecil bernama Gua Tsur dan para pengejar dari Makkah melihat mereka membuat Abu Bakr khawatir. Rasulullah tegas berkata sebagaimana diabadikan di Surat At Taubah ayat 40. “Laa tahzan, innallaaha ma’anaa..Jangan berduka, Allah beserta kita!”

Lalu dengan budak-budak Fir’aun itu? Mereka ikut dengan Musa dalam raganya saja. Belum dalam keimanannya. Maka Musak berkata bahwa Allah bersamanya, tetapi Allah belum membersamai kaumnya. Mengapa? Nih alasannya.

“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tekun menyembah berhala, Bani Israil berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kalian ini adalah kaum yang membodoh!” (Q.S Al A’raaf 138)

Baru saja diselamatkan dari Fir’aun dan tentaranya, baru beberapa saat ketika lautan terbelah menjadi jalan seberang ajaib untuk mereka… eh mereka malah minta dibuatin tuhan. “Bikinin tuhan dong,Musa!” Sungguh mereka qaumun tajhalun, kaum yang membodoh! SAYA tidak mau seperti mereka.

SAYA tidak mau menjadi kaum yang membodoh!
“Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan) dan mereka adalah orang-orang yang zhalim. (Q.S Al A’rraaf 148)
Bayangkan lagi! Ditinggal pergi sebentar oleh Musa, sudah pandai buat tuhan dari perhiasan emas yang seharusnya jadi bekal. Dasar budak Fir’aun!! Rewel!! Sampai soal makanpun rewel! Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepada mereka manna dan salwa yang langsung bisa dinikmati tanpa susah payah. Manna, menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, adalah makanan yang lebih lembut daripada susu, lebih manis daripada madu, dan lebih sejuk daripada krim beku. Sedangkan salwa adalah daging burung yang dipanggang. Lantas apa kata mereka?

“Dan (ingatlah), ketika kalian berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar dengan satu macam makanan saja. Sebab itu berdoalah kamu, untuk kami, kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apayang ditumbuhkan bumi, yaitu: sayur-mayur, ketimun, bawang putih, kacang adas da bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta.” Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang idak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. (Q.S Al Baqarah: 61)

SAYA tidak mau seperti budak-budak Fir’aun itu yang bukannya berucap ke Musa Berdoalah kita, untuk kita, kepada Tuhan kita melainkan Berdoalah kamu, untuk kami, kepada Tuhanmu. Memiliki egoism dengan bumbu angkuh tanpa iman lagi. Bahkan ragu apakah “pernah” ada keimanan dalam diri mereka? SAYA tidak mau seperti mereka yang dengan ulahnya telah membunuh Nabi, mengganti ayat Al Kitab, bahkan saat diperintah oleh Allah untuk menyembelih sapi betina mereka tetap rewel seraya mengatakan “Atattakhidzuunaa huzuwaa..Apakah kau hendak jadikan kami bahan olokan?”

Mereka menjawab: “Mohonlah engkau kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu.” Musa menjawab: “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu”. (Al Baqarah 68)

 

 

Sumber:

Fillah, Salim A. SAKSIKAN BAHWA AKU SEORANG MUSLIM. Yogyakarta: Pro-U Media, 2009.

Polemik Alkohol

Asy-Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh berpendapat bahwa sesuatu yang telah bercampur dengan alkohol tidak boleh dimanfaatkan, meskipun kadar alkoholnya rendah, dalam arti tidak mengubahnya menjadi sesuatu yang memabukkan. Karena hal ini tetap masuk dalam hadits:

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”

Ketika beliau ditanya tentang obat-obatan yang sebagiannya mengandung bahan pembius dan sebagian lainnya mengandung alkohol, dengan perbandingan kadar campuran yang beraneka ragam, maka beliau menjawab:

“Obat-obatan yang memberi rasa lega dan mengurangi rasa sakit penderita, tidak mengapa digunakan sebelum dan sesudah operasi. Kecuali jika diketahui bahwa obat-obatan tersebut dari “Sesuatu yang banyaknya memabukkan” maka tidak boleh digunakan.

(lebih…)

Kisah Jodoh

oleh Lhinblue (Teman Penulis)

 

Bismillahirrahmanirrahim..

 

Menjelang Ramadhan, ada dua peristiwa yang sering kulihat disekitarku. Apa itu?

 

Mungkin sebagian Sahabat juga merasakan hal yang sama.

 

Ada 2 hal yang sering terjadi menjelang Ramadhan. Hal pertama adalah banyaknya undangan walimatul’ursy (pernikahan) dan yang kedua adalah banyaknya kabar kematian. Pada tulisan kali ini, ijinkan aku untuk berbagi tentang hal pertama.

 

Cerita Jodoh(ku)..

 

Apa yang terlintas di benak Sahabat pertama kali ketika membaca judul tulisan ini??

 

Oohh.. Mungkin ada yang berpikir bahwa sang penulis akan berbagi tentang cerita jodohnya.

 

Tentunya disini aku takkan berbagi tentang cerita jodohku karena aku sendiri belum mengalaminya. Namun, aku akan berbagi tentang cerita jodoh(ku). “Ku” yang dimaksudkan disini adalah orang yang sudah mengalami proses dalam menjemput jodohnya. Setiap kita mempunyai scenario hidup termasuk cerita jodoh yaitu bagaimana proses penjemputan jodoh masing-masing. Mungkin ada yang awalnya tak saling kenal akhirnya menikah. Atau ada juga yang sudah kenal sejak lama dan akhirnya menikah walaupun tak pernah menduga sebelumnya.

 

Perkenankan aku untuk mengutip perkataan Pak Mario Teguh yang SUPER SEKALI: “Jodoh itu di tangan Tuhan. Benar. Tapi jika Anda tidak meminta dan mengambil dariNYA, selamanya dia akan tetap di tangan Tuhan.”

 

Ya! Jodoh itu adalah bagian dari rezeki, perlu diusahakan, perlu diikhtiarkan. Nah, proses ikhtiar dalam penjemputan jodoh inilah yang akan aku angkat dalam tulisan ini. Cerita Jodoh(ku), yang aku dapatkan dari sumber orang pertama dan orang kedua atau bahkan orang kesekian. Ada berbagai cerita yang aku angkat disini yang semoga saja bisa menginspirasi dalam mengikhtiarkan penjemputan jodoh kita.

 

 

 

Cerita Jodoh(ku) part 1: Berawal dari FaceBook

 

Ada seorang ikhwan yang profesinya sebagai seorang trainer menemukan jodohnya via FaceBook. Bagaimana hal itu bermula? Mari aku ceritakan kisah tentang mereka.

 

Bagi seorang trainer, menjaga silaturahim dengan orang-orang yang telah ditrainingnya adalah sebuah keniscayaan. Begitupun dengan ikhwan trainer ini. Disetiap akhir training, ia selalu memberikan nama akun FBnya agar para peserta training bisa tetap menjaga silaturahim dengan sang trainer via FB.

 

Suatu hari, seperti biasa, ketika seorang trainer menulis status FB, pasti berbau hal-hal yang bisa memotivasi seseorang, seperti apa yang selama ini dilakukan mereka via training. Ijinkan aku untuk mengutip sebuah lirik yang mungkin tak asing ditelinga kita: “Berawal dari Facebook baruku.. Kau datang dengan cara tiba-tiba..”

 

Ya! Berawal dari sebuah status FB sang trainer yang begitu memotivasi para pembaca, ada salah seorang akhwat yang pernah menjadi peserta training yang mengomentari status tersebut. Intinya, sang akhwat tersentuh dengan kata-kata yang dituangkan sang trainer dalam statusnya. Dari situlah, sang trainer akhirnya berkunjung ke FB sang akhwat -karena merasa belum mengenal sang akhwat- hanya sekadar ingin mengingat-ingat mungkin sang akhwat pernah menjadi salah satu peserta trainingnya.

 

Tak dinyana, ketika memasuki halaman FB sang akhwat, ada sebuah rasa yang muncul dalam hati dan sebuah bisikan yang begitu halus dan berulang : “Aku yakin, dia jodohku..”. Interaksi dan komunikasi pun terjalin via FB hingga akhirnya sang trainer memutuskan untuk meminang sang akhwat menjadi istrinya. Gayung pun bersambut, sang akhwat menerima pinangan itu dan mereka menikah. Simple, isn’t it?

 

 

 

Cerita Jodoh(ku) part 2: Love at the first sight

 

Love at the first sight atau jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “cinta pada pandangan pertama”. Menurut penelitian para ilmuwan, cinta jenis ini sering terjadi pada laki-laki. Ketika seorang laki-laki melihat seorang perempuan dan dengan serta merta ada rasa cinta tumbuh darisana. Itulah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama, ada suatu ketertarikan tertentu saat pertama kali melihat seorang perempuan.

 

Pada suatu agenda da’wah, yang tanpa hijab (pembatas antara ikhwan dan akhwat), seorang ikhwan -yang memang sedang mencari jodohnya- merasa menemukan jodohnya ketika ia melihat dari kejauhan ada seorang akhwat yang membuat jantungnya berdebar-debar dan muncullah bisikan dari hatinya: “Aha, dialah orangnya..”

 

Tentu, bagi aktivis da’wah ketika ada perasaan yang muncul terhadap lawan  jenis, tak serta merta disampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan. Sang ikhwan berjuang untuk mengikuti kata hatinya karena ada keyakinan yang mendalam bahwa akhwat itulah jodohnya. Karena ia pun sudah masuk dalam kategori ‘siap nikah’, maka tak ada kata lain selain untuk berta’aruf dengan sang akhwat.  Ia mencari tahu siapa Murobbiyah (guru ngaji) sang akhwat dan mencari tahu nomor HPnya. Allah pun memudahkan jalannya. Sang murobbiyah akhwat ternyata adalah orang yang sudah dikenalnya. Sang ikhwan akhirnya menghubungi sang murobbiyah dan menyatakan diri untuk berta’aruf dengan akhwat yang dimaksud.

 

Sang akhwat yang tidak tahu menahu tentang sang ikhwan, akhirnya mengiyakan untuk melanjutkan proses ta’aruf, tentunya setelah istikharah panjangnya. Proses ta’aruf pun berlangsung, mulai pertemuan pertama, kedua, yang didampingi oleh guru ngaji masing-masing (tak berduaan), ada begitu banyak kecocokan, dan akhirnya pertemuan berlanjut ke pertemuan pihak keluarga masing-masing. Kedua pihak keluarga pun merasa cocok, tak ada masalah, hingga akhirnya sang ikhwan mengkhitbah (meminang) sang akhwat dan tanpa berlama-lama dalam proses, mereka pun menikah. Barakallah..

 

 

 

Cerita Jodoh(ku) part 3: Halalkan saja..

 

Jika dua cerita diatas berkisah tentang dua orang yang awalnya belum saling kenal dalam menemukan jodohnya, maka pada cerita ketiga ini, aku menceritakan kisah yang sedikit berbeda, dua orang yang sudah saling kenal dan memang mereka berjodoh pada akhirnya.

 

Cerita ini bermula dari tiga orang aktivis da’wah yang diamanahkan untuk pergi ke suatu kota untuk suatu tugas da’wah tertentu, untuk menetap agak lama di kota itu. Tiga orang ini terdiri dari dua akhwat dan satu ikhwan. Qadarullah, salah seorang akhwat tidak bisa pergi karena ada satu keperluan yang begitu mendesak yang tidak bisa ditinggalkan. Lantas bagaimana dengan tugas da’wah yang sudah diamanahkan kepada mereka bertiga? Akankah tetap berjalan dengan satu orang yang tidak ikut serta? Itu berarti hanya ada satu ikhwan dan satu akhwat yang akan pergi. Dan mereka berdua bukanlah mahramnya. Bukankah akan terjadi fitnah yang besar jika dua orang yang bukan mahramnya melakukan perjalanan bersama?

 

Maka, mereka pun berkonsultasi kepada sang qiyadah. “Ustadz, bagaimana kami bisa pergi berdua saja karena kami bukan mahram? Adakah yang bisa menggantikan al-ukh yang tidak bisa pergi itu? Ataukah ustadz ada saran lain?”

 

Sang ustadz menjawab dengan mantap: “Yasudah, halalkan saja..”. Akhirnya, mereka menikah dan melanjutkan perjalanan da’wah bersama. Subhanallah, inikah yang dinamakan ‘”menikah di jalan da’wah”?? Ketika hati tak lagi ragu, ketika da’wah menjadi alasan pernikahan mereka, bukan alasan lain yang bersifat duniawi.

 

 

 

Cerita Jodoh(ku) part 4: Ternyata jodohku dia..

 

Seorang ikhwan yang dikategorikan siap nikah, sedang berikhtiar menjemput jodohnya. Proposal nikah pun sudah diajukan kepada sang Murobbi untuk dicarikan pendamping hidup.

 

Tak lama berselang, ta’aruf dengan seorang akhwat pun dilakukan. Namun, proses kandas di tengah jalan. Ta’aruf-ta’aruf berikutnya pun demikian, tak ada yang sampai pelaminan bahkan khitbah pun belum. Berkali-kali ta’aruf, rupanya sang ikhwan belum juga  menemukan jodohnya.

 

Hingga akhirnya pada suatu ketika, sang ikhwan ditawari seorang akhwat oleh sang Murobbi. Akhwat yang dimaksud tak lain tak bukan adalah adik kelasnya yang juga satu organisasi da’wah. Proses ta’aruf yang dijalani begitu lancar dan berlanjut hingga ke pelaminan.

 

“Ternyata jodohku dia..”, gumam sang ikhwan setelah pernikahan berlangsung. Mungkin akan ada suatu lintasan pikiran dalam benak sang ikhwan: “Andai saja dari dulu saya tahu kalo jodohku dia, dari awal aja proses dengan dia..”. Sayangnya, kita tak pernah tahu siapa jodoh kita sebelum kita benar-benar menemukannya dan menikah dengannya.

 

####

 

Sahabat, begitulah beberapa cerita jodoh(ku) yang bisa aku angkat dalam tulisan ini. Ada yang pertama kali berinteraksi, langsung mengetahui bahwa dia jodohnya. Adapula yang sudah kenal sebelumnya dan tidak pernah menduga, ternyata berjodoh. Jodoh benar-benar misteri, tinggal kita yang memilih bagaimana proses penjemputan jodoh yang akan kita torehkan dalam cerita jodoh(ku). Apapun ikhtiar yang dilakukan, semoga menuai berkah Allah. Jika di awal jalan menuju pernikahan saja sudah tidak berkah, maka mungkinkah keberkahan berumah tangga akan terwujud? Semoga kita bisa menjaga keberkahan proses dari awal hingga akhir.

 

Sahabat, memang betul bahwa Allah pembuat scenario terbaik, sutradara terbaik dalam kehidupan ini. Tapi ingat! Kita adalah aktornya, performance aktor lah yang akan dilihat, bisakah sang aktor berperan sesuai dengan yang diharapkan sang sutradara seperti yang tertuang dalam scenario?

 

Allah memang sudah menetapkan jodoh kita di Lauh Mahfudz sana, jauh sebelum kita lahir ke dunia ini. Apakah kita akan berjodoh dengan orang yang belum dikenal sebelumnya atau bahkan orang yang sudah kita kenal dan dekat di sekitar kita. Tinggal kita yang memilih akan menjemput jodoh yang disertai keberkahan atau tidak.

 

Lantas apa yang dimaksud dengan berkah Allah dan bagaimana cara agar apa yang dilakukan senantiasa mendapat keberkahan dari Allah?

 

Berkah, jika dilihat dari bahasa berupa kata ‘al-barakah’, yang artinya berkembang, bertambah dan kebahagiaan. Asal makna keberkahan, begitu Imam Nawawi berkata, ialah kebaikan yang banyak dan abadi.

 

Ada 2 syarat agar barakah Allah senantiasa menaungi kita. Pertama, iman kepada Allah. Jadi, hanya orang mukminlah yang mendapatkan barakah Allah, seperti yang Allah sampaikan langsung melalui surat cintaNYA:

 

”Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (QS. Al-A’raaf [7] : 96)

 

Orang yang merealisasikan keimanannya kepada Allah, dengan hanya bergantung padaNYA, yakin padaNYA, senantiasa menyertakan Allah dalam setiap apa yang dilakukan, merekalah orang-orang yang akan mendapatkan barakah Allah. Semoga kita termasuk ke dalamnya. Aamiin.

 

Syarat kedua, amal shalih. Amal shalih adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-NYA, sesuai dengan syariat yang diajarkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.

 

Jadi, untuk meraih keberkahan dalam ikhtiar menjemput jodoh, kita harus YAKIN ke Allah bahwa jodoh kita takkan pernah tertukar. Kita pun harus menyertakan Allah dalam setiap mengambil keputusan terkait jodoh ini, selalu istikharah memohon petunjukNYA. Dan yang tak kalah penting, perbanyak amal shalih, semakin dekat ke Allah dan menjauhi apa-apa yang dilarangNYA. Tidak bermaksiat ketika proses menjemput jodoh itu berlangsung. Tidak ada jalan berdua yang akan mendekati zina, tidak ada sms mesra dengan kata-kata penuh cinta, tidak ada chatting untuk hal-hal yang tak penting, sebelum akad ditunaikan.

 

Setiap orang yang sedang dimabuk cinta -tulis Dr. Khalid Jamal dalam buku Ajari Aku Cinta di halaman ke 25- pasti ia tidak menghendaki kekasihnya merupakan salah satu komponen kemaksiatan yang ia lakukan. Demikian pula ia tidak mau menjadi salah satu komponen kemaksiatan yang dilakukan kekasihnya. Camkanlah arti kata cinta yang amat mulia tersebut.

 

Bukankah kita sudah yakin dengan janji-NYA yang tertuang seperti ini dalam ayat cintaNYA?

 

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).” (QS. An-nuur [24] : 26)

 

Maka, hal yang paling tepat untuk dilakukan dalam penantian bertemu dengan jodoh hanyalah memperbaiki diri. Yakinlah, ketika diri ini sedang berusaha memperbaiki diri, maka ia-pun yang entah berada di belahan bumi yang mana, yang telah tertulis dalam kitabNYA, juga sedang berusaha memperbaiki diri. Dan semoga Allah mempertemukan kita dengannya dalam kondisi keimanan terbaik yang mampu untuk diusahakan.

 

Sahabat, jika diibaratkan hari ini kita berada pada waktu pagi setelah sarapan, maka bertemunya kita dengan sang jodoh adalah waktu makan siang kita. Jika sudah tiba waktu makan siang, maka kita pun akan segera sampai pada waktu makan siang kita. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan waktu dari pagi hingga siang itu untuk mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat bukan sekadar menunggu jam makan siang yang akan membuat kita menjadi bosan.

 

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan dalam ikhtiar menjemput jodoh. Selain berikhtiar mencari atau meminta dicarikan pendamping hidup, satu hal yang paling penting adalah mempersiapkan diri menuju gerbang pernikahan. Bukan, bukan persiapan hari H resepsi pernikahan yang cuma satu hari yang aku maksudkan disini. Tapi, hari-hari setelah hari H: sudah siapkah kita menjadi seorang suami/istri, sudah siapkah kita menjadi ayah/ibu, sudah siapkah kita menjadi seorang menantu, sudah siapkah kita menjadi adik/kakak ipar, sudah siapkah kita menjadi bagian dari keluarga besar suami/istri kita, dan sudah siapkah kita menjadi seorang tetangga? Dan pertanyaan utama yang patut dipertanyakan adalah akan dibawa kemana bahtera rumah tangga kita nantinya??

 

Maka, Sahabat, mari kita tunggu waktu makan siang kita dengan menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, bukan saja menyiapkan diri menuju gerbang pernikahan, tapi juga menyibukkan diri dengan amanah yang saat ini kita emban. Jangan sampai kita focus menyiapkan diri menuju pernikahan tapi malah menelantarkan apa-apa yang saat ini Allah amanahkan kepada kita. Umat butuh kontribusi konkret dari kita -para pemuda-, maka bekerjalah. Bekerja untuk Indonesia. Bekerja untuk Allah.

 

Terakhir, ijinkan aku mengutip sebuah kalimat dari Majalah Ummi edisi 02/XVII/Juni 2005:

 

“… menikah justru akan membuka pintu rizki, bila dilakukan dengan persiapan yang matang, pemikiran yang tepat dan niat yang ikhlas. Mudah-mudahan Allah berkenan memberikan kemudahan kepada kita semua…”

 

By: LhinBlue, yang sering khilaf dalam berkata-kata, yang masih dangkal dalam setiap ilmu

 

Dikutip dari Tulisan Lhinblue di FB

Untukmu Wahai Kemenangan

Sebuah renungan dan nasihat bagi diri sendiri dan orang lain insya Allah.

Kehidupan itu ditempuh untuk meraih sebuah kemenangan. Tidak ada lagi hal yang lain selain sebuah kemenangan. Namun yang menjadi sebuah pertanyaan adalah, kemenangan seperti apakah yang kita cari dan hendak kita gapai.

Karena seorang pemenang sejati adalah seseorang yang bermula dengan sempurna niatnya di awal, tetap teguh menjaga dengan niatnya di awal, dan berakhir dengan niatnya yang sesuai seperti di awal. Dan pahamkanlah dalam diri tentang sebenar-benarnya sebuah kebenaran niat.

Sebuah kalimat yang menurutku mempunyai arti akan sebuah kemenangan hakiki. Bagaimana melihat kebanyakan sekarang orang hanya berorientasi kepada hasil yang dicapainya, dikatakan kemenangan ketika hasilnya tercapai, atau dikatakan sebuah kegagalan ketika hasil yang diinginkan tidak didapatkan. Hingga akhirnya kita hanya menjadi orang-orang yang berorientasi kepada hasil yang menjadikan kita orang-orang yang pragmatis dan statis. Dan ketika pemikiran kita sudah terdoktrinasi dengan pola pola pikir semacam ini, maka muncullah segala macam hasrat yang mengarahkan kita kepada sebuah kemaksiatan-kemaksiatan kecil yang akhirnya akan berujung kepada kemaksiatan sesungguhnya.

Sebuah kemaksiatan dapat mempengaruhi esensi dari sebuah kemenangan. dapat juga berpengaruh terhadap apa yang akan dihasilkan. Karena kemaksiatan bisa jadi menjadi alasan utama kegagalan itu bisa terjadi. Seperti yang pernah dikatakan Umar bin Khattab, yang intinya bahwasanya

Aku tidak pernah takut dengan banyaknya jumlah pasukan musuh yang kita hadapi, tapi yang aku takutkan adalah ada di antara kalian yang melakukan kemaksiatan, yang karenanya pertolongan itu tidak datang untuk kita.

Memang di era sekarang ini, wujud kemaksiatan terkadang sudah sangat nyaru terjadi. Dan jangan hanya berpikir kemaksiatan itu hanya datang dari harta tahta dan cinta saja, namun kemaksiatan itu bisa saja berarti wujud ketidaktaatan kita kepada Allah dan RasulNya. Bisa saja bentuk kemaksiatan itu berupa ego ego kita akan pendapat kita yang selalu merasa benar dari yang lain, merasa paling tau daripada pemimpin-pemimpin kita, dan merasa yang paling hebat dibandingkan yang lain. apalagi zaman sekarang, hampir di setiap sudut pandang kita, kemaksiatan sudah sering terjadi dan sulit dihindari. Bahkan tanpa sadar mungkin kita sedang melakukan kemaksiatan tersebut. Dan dikarenakan sebuah kebudayaan dan kebiasaan kita setiap saatnya, akhirnya kita membenarkan sebuah kemaksiatan yang sedang kita lakukan dengan dialektika dialektika yang memukau. padahal jika kita memahami, sungguh, syaithon itu membuat kemaksiatan akan terasa indah untuk kita.

Jika dipahami, kemenangan itu tidak bisa diraih hanya dengan kebaikan kebaikan atau usaha keras yang kita lakukan jikalau kemaksiatan masih saja kita lakukan, walaupun untuk sebuah kemaksiatan dengan skala yang kecil. Pernah suatu ketika Ustadz Yusuf Mansyur ditanya oleh seseorang.

Ustadz, ini saya udah sering infak terus ke orang orang, tapi kenapa rezekinya masih gini gini aja ya?

Lalu ustadz kembali bertanya,

Yang namanya rezeki itu bukan cuma banyak kebaikan yang kita lakukan pak, tapi lihat apa masih ada kemaksiatan yang selalu bapak lakukan tiap hari?

Dari buku Sayyid Qutb, beberapa nilai kemaksiatan disampaikannya, dan diantaranya adalah bahwa kemaksiatan itu bisa melemahkan hati kita, yang jika telah lemah hati kita maka akan bisa melemahkan jasad kita. Kemudian kemaksiatan itu bisa menghalangi datangnya syafaat Rasul untuk diri kita, padahal syafaat itu sangat kita nantikan dan kita inginkan kelak nanti. Lalu bentuk kemaksiatan itu menjadikan sebuah anggapan kita yang meremehkan Allah. Dan yang paling penting bahwasanya kemaksiatan itu sesungguhnya bisa melenyapkan nikmat dan mendatangkan adzab. Dan bisa jadi karena inilah kemenangan hakiki itu tidak akan bisa kita dapatkan. Saudaraku, sebentar lagi, kita akan sampai pada Bulan ramadhan. Dan butuh banyak introspeksi memang dalam diri diri kita, bagaimanakah kondisi diri kita untuk menyambut Ramadhan ini. Apakah masih menjadi diri-diri yang dekat dengan kemaksiatan yang telah membudidaya pada keseharian kita, atau telah menjadi diri diri yang bisa menjaga keseharian kita dari kemaksiatan yang merajalela. Dan berharap dengan datangnya bulan Ramadhan ini, kita bisa memaknai arti sebuah kemenangan yang sebenarnya. Bahwa semua itu dicapai tidak dengan banyak nya kebaikan yang kita lakukan, tapi dari kemaksiatan juga yang kita tinggalkan. wallahu alam..

 

 

Sumber:

Note FB yang dikirim oleh Teman (Bukankah ilmu tidak hanya berasal dari buku saja?)

Mengobati Diri dengan Sirup Sabar

Chapter 2.0

Masih ingatkah dengan tulisan sebelumnya yang chapter 1.0, Penulis disini bukan bermaksud menjadi sok suci, sok alim atau untuk menggurui atau menyuruh, melainkan untuk saling nasehat menasehati diri sendiri dan orang lain. Diri penulis pernah merasakan juga apa yang namanya badai kehidupan. Badai yang mampu menggoyahkan diri baik dalam maupun luar. Badai ini mampu mengikis iman, aqidah siapapun hingga dada terasa sempit dan tak tahu harus kemana. Badai bisa berwujud penyakit fisik maupun hati. Bisa juga disebabkan oleh badai yang berbentuk keadaan.

Badai kehidupan bisa menjadi peringatan atau cobaan bagi muslim. Jangan disesali. Jangan ditakuti. Hadapilah. Bukankah badai di laut itu sesuatu yang harus ditakluki bukan diratapi atau disesali. Baru awan yang tenang sajalah yang bisa dinikmati. Tenang. La Tahzan. Janganlah bersedih. Terlepas itu peringatan atau cobaan semuanya bukti Allah SWT masih sayang kepada kita. Allah SWT ingin hati kita sadar, mata kita mampu melihat kebenaran. Mari kita pikirkan bila kita berbuat dosa lalu kita diberi peringatan agar kembali ke jalanNya. Jalan yang lurus. Taubatan Nasuhah. Kita ibarat planet yang berputar mengelilingi pusat tata surya pada orbit yang sudah ditetapkan. Planet yang keluar dari orbit amatlah berbahaya karena bisa merusak planet lain yang juga berputar revolusi terhadap Matahari. Untuk itu planet itu harus segera kembali pada orbitnya agar tidak menjadi mudharat pada planet yang lain. Allah SWT memberi kita peringatan sebagai tanda masih sayang agar kita segera kembali ke “orbit” karena Allah SWT Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Syaitanlah yang membisikkan ke hati kita agar tidak segera mengingat Allah SWT.

Segala sesuatu kesenangan dan kesedihan merupakan ujian / cobaan yang diberikan oleh Allah SWT kepada kita untuk mengetahui apakah kita termasuk orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu. Memang betul. Ada kisah menarik yang bisa dijadikan sumber. Pernah baca kisah Nabi Yusuf a.s yang dianugerahkan ketampanan luar biasa oleh Allah SWT. Kisahnya yang digoda oleh Istri Penguasa yang cantik, muda dan kaya. Saat itu Nabi Yusuf dijadikan budak penguasa negeri Mesir. Ia diajak berzinah oleh Imratul Aziz (Istri Penguasa) di rumah wanita tersebut. Kala itu rumah sedang sepi. Nabi Yusuf dan wanita itupun masih muda. Masa hidup yang berapi-api. Nabi Yusufpun sebagai orang asing didaerah itu. Biasanya orang asing tidak segan melakukan apapun di daerah yang ia tak kenal. Jarang-jarang ada wanita yang mengajak berzinah. Berbeda 180o dengan zaman sekarang. Bisa jadi pria dan wanita yang sama-sama mengajak berzinah.

Wanita istri penguasa yang ketahui ternyata bernama Siti Julaikha mengancam Nabi Yusuf akan memenjarakannya bila tidak mau menuruti hawa nafsunya. Kala itu keadaan justru sangat-sangat memungkinkan terjadinya perzinahan. Namun Nabi Yusuf hanya takut kepada Allah SWT dan sabar menahan hawa nafsunya. Seorang ustad yang menceritakan kisah Nabi di sebuah kajian Siroh mengatakan bahwa saat itu Nabi Yusuf memiliki kesabaran yang luar biasa. Sabarnya saat itu adalah sabar karena pilihan. Bukan karena keadaan. Maksudnya, keadaan yang mendesak terjadinya perzinahan tidak menjadikan Nabi Yusuf lupa akan pengawasan Allah SWT sehingga beliau memilih untuk menolak ajakan perzinahan tersebut. Sungguh Subhanallah. Atas izin Allah SWT. Nabi Yusuf selamat meski harus mendekam di penjara karena menolak ajakan Siti Julaikhah.

Amat berbeda bila kita melihat kehidupan sekarang. Sabar yang kita miliki adalah mungkin adalah sabar karena keadaan. Ditimpa hutang, kemiskinan, banjir dan bencana lain justru mengharuskan kita bersabar. Keadaanlah yang membuat kita harus bersabar. Nabi Yusuf dalam kisah disebutkan di atas sabar karena pilihan. Beliau sadar bahwa senantiasa gerak-geriknya selalu diawasi oleh Allah SWT.

Oleh karena itu bila kita mendapat kesulitan, perhatikan dalam diri ini. Bisa jadi kita telah jauh dari Allah SWT. Telah lupa bahwa kita diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Segera bertaubat.

Abu Sa’id RA dan Abu Hurairah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Segala sesuatu yang menimpa seorang muslim, baik berupa rasa letih, sakit, gelisah, sedih, gangguan, gundah gulana maupun duri yang mengenainya (adalah ujian). Dengan ujian itu, Allah SWT mengampuni dosa-dosanya”. (HR Muttafaqun ‘alaih)

Dari hadits di atas seharusnya membuat kita tak tenggelam dalam kesedihan tatkala datang sebuah permasalahan. Insya Allah dosa-dosa kita akan diampuni. Dihapus. Sehingga nanti di akhirat mungkin dosa kita tinggal sedikit atau bahkan telah habis di dunia. Lalu untuk menghadapi masalah tersebut bagaimana dong? Diam saja. Berdoa saja? Tidak. Kita juga harus berusaha menyusun solusi dengan akal yang sudah diberikan oleh Allah SWT. Masalah selesai tidak hanya berdoa saja tapi juga harus dengan ikhtiar. Allah SWT akan melihat ikhtiar atau usaha kita. Setelah usaha maka hasil kita serahkan kembali ke Allah SWT.

Mari kita tanamkan dalam hati. Ingat dalam Al Qur’an Surat Al Isra. Allah SWT memastikan bahwa akan ada solusi bagi tiap masalah. Inna ma’al usri yusro, Fainna ma’al usri yusro. Dibalik kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya dibalik kesulitan ada kemudahan. Kalimat yang memiliki makna yang luar biasa dan diulang. Dalam sebuah ceramah di Masjid ARH Salemba UI, seorang Ustad menjelaskan secara tematik kedua ayat tersebut. Ternyata maknanya dalam sebuah kesulitan berdempetan dengan kemudahan. Maka dalam kesulitan berdempetan dengan kemudahan, seraya ustad menempelkan kedua tangannya hingga menempel.

Berikut ada rekaman (password 2271988anca) ceramah Ust. Yusuf Mansyur yang insya Allah mampu menyadarkan kita akan pentingnya bersegera bertaubat kepada Allah SWT. Dalam ceramah tersebut, dikisahkan kehidupan seseorang yang sudah di ujung tanduk namun segera berubah atas izin Allah SWT.

Dari ceramah itu maka ibrah yang bisa kita ambil adalah saat kita memiliki masalah , lakukanlah hal berikut (Ust. Yusuf Mansyur berkata ini bersumber dari Rasulullah SAW):

  1. Berwudhulah
  2. Shalatlah dua raka’at dalam hal ini adalah shalat hajat.
  3. Tilawah
  4. Berdoa dengan khusuk.

Semua kegiatan itu disarankan saat sepertiga malam dilengkapi dengan shalat qiyamul lail. Mudah-mudahan kita bisa menerapkan dalam kehidupan kita.

Mengobati Diri dengan Sirup Sabar

Chapter 1.0

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sabar..sabar..sabarlah..! Orang sabar akan disayang oleh Tuhan. Mungkin kita pernah dengar nasehat tersebut dari orangtua atau sahabat kita. Tapi apakah kita tahu bahwa sabar itu begitu amat penting dalam kehidupan kita. Karena betapa mulianya keteguhan dan kesabaran. Kesabaran itu akan mendapat ganjaran pahala tanpa batas. Hal ini sudah tertuang dalam Al Quran surat Az Zumar ayat 10.

Ada sebuah kisah menarik yang akan membuat mengerti akan berharga sebuah kesabaran. Dalam hadits riwayat Al Baihaqi, Rasulullah SAW berkata, “Ketika aku diisrakan, tiba-tiba aku mencium semerbak wewangian nan harum. Maka aku bertanya, ‘Bau apakah ini?’. Lalu aku mendapat jawaban, ‘Ini adalah wanginya Masyitah (wanita tukang sisir) anak Fir’aun, bersama anak-anaknya.”

Dahulu kala ada seorang wanita tukang sisir anak Fir’aun yang hidup bersama suami dan kelima anaknya. Suaminya merupakan orang yang dekat dengan raja. Allah SWT menganugerahkan keimanan kepada mereka. Saat Fir’aun mengetahui keimanan suaminya maka suaminya dibunuh. Meski begitu Masyitah masih bekerja di lingkungan kerajaan demi menafkahi kelima anaknya yang masih kecil. Ia membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang.

Suatu hari saat menyisir rambut anak Fir’aun, sisir yang terjatuh membuat Masyitah terkejut dan mengatakan, “Dengan nama Allah SWT”. Anak Fir’aun tersebutpun bertanya, “Maksudmu Allah itu Ayahku?” Masyitah menjelaskan, “Allah itu Tuhanku, Tuhanmu dan Tuhan ayahmu.” Sang anakpun marah karena ada tuhan selain bapaknya. Serta merta anak tersebut melaporkan kepada ayahnya.

Masyitah akhirnya dibawa untuk menghadap Fir’aun. Fir’aun bertanya, “Siapakah Tuhanmu?” Masyitah menjawab, “Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.” Fir’aun marah dan memukulinya agar mau meninggalkan agamanya. Namun Masyitah tetap teguh pada pendiriannya.
Lalu Masyitah dihukum oleh Fir’aun. Fir’aun menyuruh pengawalnya untuk menyiapkan periuk tembaga besar berisi minyak yang akan dididihkan dengan kayu bakar. Periuk tersebut diletakkan ditengah alun-alun kota. Setelah itu pengawalnya membawa Masyitah ke tempat hukuman. Fir’aun memaksa Masyitah agar kufur terhadap Allah. Keluar dari agamanya. Bila tidak maka ia dihukum direbus dalam periuk. Masyitah tetap bergeming, tidak mau murtad dari agama yang diyakini benar. Ia berpikir tak apalah jika satu nyawa saja yang melayang akibat Fir’aun. Ia akan menemui Rabbnya setelah mati nanti.

Ternyata Fir’aun yang kejam ini mendatangkan kelima anaknya yang masih lugu. Mereka tidak tahu menahu mengapa digiring ke tempat hukuman. Fir’aunpun menyuruh pengawalnya mengambil anak pertama Masyitah untuk direbus dalam periuk. Sang anak berjuang, meronta-ronta, merengek kepada ibunya, memanggil adik-adiknya serta meminta belas kasihan dari pengawal dan Fir’aun. Melihat hal tersebut Masyitah berkata, “siksaan ini hanyalah beberapa saat saja, wahai anakku.” Hingga anak tersebut dilemparkan ke dalam periuk, Masyitah hanya bisa menangis. Anaknya yang lain hanya bisa menutup kedua mata dengan tangan-tangan kecil saat daging manusia dan tulang belulang direbus dalam periuk. Fir’aun menoleh ke Masyitah dan memaksa untuk kufur terhadap Allah. Masyitah tetap teguh dan sabar terhadap hukuman ini. Ia yakin akan kebenaran. Fir’aun geram dan kembali melanjutkan hukuman terhadap anak-anak Masyitah. Anak kedua, ketiga, dan keempatnyapun dilemparkan ke dalam periuk berisi minyak panas. Sang Ibu tetap meyakinkan anaknya seperti ucapannya sebelumnya, “Siksaan ini hanya beberapa saat saja, wahai anakku!” Melihat keempat anaknya sudah mati dan berubah menjadi tulang dalam periuk panas itu, hati terasa tercabik-cabik. Selama ini Masyitah bermain, merawat dan bercengkerama tiap malam dengan mereka. Lalu itu semua pupus hilang karena Fir’aun. Air matanya tak terbendung lagi. Meluncur deras dari kedua matanya.
Setelah keempat anaknya, kini tentara Fir’aun mulai bergerak mengikuti perintah Fir’aun mengambil paksa si bungsu yang sedang digendong oleh Masyitah. Tatkala sang bayi terlepas dari Masyitah, bayi memekik menangis, serta merta Masyitah menangis pula. Atas kuasa Allah SWT terjadi suatu keajaiban. Anak terakhir itu diberikan kemampuan berbicara dan berkata pada ibunya, Masyitah, “Duhai Bunda, bersabarlah! Karena Bunda berada di jalan yang benar.” Bayi itu pun dimasukkan ke dalam periuk panas berisi tulang belulang kakaknya yang sudah dulu masuk. Tinggal diri Masyitah yang belum dihukum. Fir’aun memaksanya kembali untuk kufur terhadap Allah SWT tapi ia tetap berpegang teguh pada tali agama Allah SWT. Terakhir ia pun dimasukkan ke dalam periuk dan mati syahid menyusul anak-anaknya.

Lantas kita akan bertanya-tanya mengapa dalam hidup ini selalu saja ada cobaan. Cobaan datang silih berganti membuat hati kita semakin sempit. Seakan-akan hidup ni akan segera berakhir. Tapi percayakah bahwa cobaan yang dihadapi dengan kesabaran akan berbuah pahala. So gimana dengan cara kita bersabarnya? Apakah bersabar itu pasrah terhadap keadaan. Tidak melakukan apa-apa. Diam seribu bahasa. Dari sebuah ceramah yang saya dengar dari seorang ustad, bahwa dalam bersabar itu harus ada tindakan atau perbuatan. Tidak bisa hanya diam. Ustad itu menjelaskan dengan mengutip Al Qur’an surat Ali Imran ayat 200, “Hai orang yang beriman! Bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu..” Allah SWT menyuruh kita untuk bersabar. Stop sampai situ kah? Tidak. Maka Allah SWT melanjutkan dengan kalimat “kuatkanlah kesabaranmu”. Makna kalimat terakhir ini sangat luar biasa. Mungkin selama ini kita hanya bisa mengatakan sabar tanpa menguatkan kesabaran. Ternyata kesabaran itu harus konsisten. Terus menerus atau tidak boleh putus. Jangan sampai kita hanya berkata sabar tapi hanya di awal saja.